Pages

Sunday, December 7, 2014

Patrap Triloka Taman Siswa


Taman Siswa


Oleh : A’inatul Mardliyah

Ketika mendengar kata sekolah, maka apa yang terlintas dipikiran adalah tempat untuk belajar. Di dalamnya terjadi sebuah proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan para siswanya. Guru mengajar dengan berbagai pendekatan dan metode yang telah dirancang sebelumnya. Sedangkan siswa memiliki tanggung jawab untuk patuh terhadap perintah guru dan menyelesaikan tugas-tugas serta kewajibannya dengan baik. Kemampuan guru dalam mengelola kelas berbanding lurus dengan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Karena kunci dari kegiatan pembelajaran itu terletak pada guru.
Lain halnya dengan sebuah taman, ketika mendengar kata taman, maka yang terlintas dipikiran adalah tempat yang indah nan sejuk dipenuhi dengan warna-warni bunga. Beberapa orang menghabiskan waktu di taman untuk bermain dan bersenda gurau. Taman adalah salah satu alternatif tempat yang digunakan untuk menghilangkan kepenatan. Maka disetiap akhir pekan, taman akan menjadi tempat yang ramai dikunjungi orang. Prespektif orang masih sama, di taman lah tempat yang pas untuk menghibur diri. Maka dari itu, bukan hanya orang dewasa saja yang menyukai taman karena ingin me-refresh otak, tetapi juga anak-anak yang ingin menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temannya sambil bermain di tempat indah yang disebut taman itu.
Lalu apa hubungannya sekolah dengan taman? Di Indonesia, seorang tokoh pendidikan yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah sekolah dengan nama Taman Siswa. Taman diartikan sebagai sebuah tempat bermain atau tempat belajar, sedangkan siswa adalah para murid yang belajar. Sekolah dengan nama Taman Siswa ini didirikan untuk warga pribumi pada masa penjajahan agar mereka bisa mengenyam pendidikan seperti halnya para priyayi dan orang-orang Belanda. Dengan prinsip dasar yang disebut sebagai Patrap Triloka. Dalam Patrap Triloka mengandung tiga unsur, dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun kemauan/inisiatif), dan Tut wuri handayani (dari belakang mendukung). Dengan prinsip dasar tersebut, Ki Hajar Dewantara ‘memoles’ wajah Indonesia dengan pendidikan.
Dengan pondasi dasar yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara tersebut, seharusnya Indonesia menjadi negara percontohan pendidikan dunia. Sekolah dengan nama Taman Siswa itu menggambarkan bahwa sejatinya sekolah adalah tempat seorang anak mengekspresikan diri dengan segala potensi yang dimilikinya. Belajar dengan cara menyenangkan seperti halnya yang dirasakan saat bermain. Sekolah tidak hanya terpaku dengan tugas-tugas yang membuat siswa semakin terbelenggu kreativitasnya. Tetapi mengajak siswa untuk membangun kreativitas. Guru tidak membatasi dan mengkotak-kotakkan kemampuan siswa tetapi memberikan ruang bagi siswa untuk berkarya. Hal itulah yang diterapkan Finlandia dalam pendidikannya, oleh karena itu Finlandia disebut sebagai negara dengan pendidikan terbaik dunia.
Buku ‘Sekolah Taman Siswa’ yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara dijadikan sebagai buku referensi di Finlandia. Tetapi di Indonesia buku tersebut malah tidak dibaca. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak Mendikbud, Anies Baswedan dalam pertemuan dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota seluruh Indonesia di Jakarta (Kompas.com, 2/12).
Ki Hajar Dewantara telah menyumbangkan banyak hal untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah prinsip dasar yang dipegang teguh oleh para guru di Taman Siswa, yakni Patrap Triloka. Prinsip tersebut bukan hanya bisa diterapkan di internal sekolah, tetapi juga untuk semua pihak. Karena sejatinya pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Di manapun posisinya, sebagai pihak pemerintah, masyarakat, guru, dan sebagainya, masing-masing memiliki tanggung jawab yang sama untuk memajukan pendidikan Indonesia. Di depan memberikan contoh atau tauladan yang baik, di tengah memberikan inisiatif, dan di belakang memberikan dorongan.
Dengan pondasi kuat tersebut, sangat disayangkan bila Indonesia saat ini menjadi negara darurat pendidikan. Ada beberapa fakta yang diungkap oleh Pak Anies Baswedan, di antaranya sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan, nilai rata-rata kompetisi guru di Indonesia hanya 44,5 yang seharusnya nilai standar kompetensi guru adalah 75, dalam pemetaan dibidang perguruan tinggi Indonesia berada di tingkat 49 dari 50 negara yang diteliti, pendidikan Indonesia masuk dalam peringkat 64 dari 65 negara yang dikeluarkan oleh lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), dan sebagainya (Kompas.com, 2/12).
Ketika fakta-fakta tersebut terungkap, hendaknya antara pemerintah dengan masyarakat tidak saling menyalahkan. Tapi bekerja sama untuk mengambil langkah tegas untuk mengatasinya. Kurikulum 2013 yang sejak diterapkan telah menuai protes dari beberapa pihak, sudah seharusnya dievaluasi. Pemerintah telah berupaya untuk menanganinya dengan membentuk tim evaluasi kurikulum 2013. Ini menandakan bahwa pemerintah tidak tinggal diam terhadap masalah yang ada. Pemerintah telah berupaya untuk menciptakan iklim positif untuk memajukan pendidikan. Subtansi kurikulum 2013 sejatinya telah sangat bagus, tetapi untuk penerapannya saja yang kurang efektif. Maka dari itu banyak pihak yang memprotes.
Di tengah suasana darurat pendidikan seperti saat ini, prinsip Patrap Triloka hendaknya dipegang teguh. Sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Bersama membangun Indonesia dengan memajukan pendidikan. Jika kurikulum 2013 dalam pengimplementasiannya membuat siswa jenuh oleh setumpuk tugas, maka sudah seharusnya kita evaluasi bersama. Bagaimana caranya agar tugas-tugas itu tidak dianggap sebagai beban yang membatasi kreativitas berpikir siswa. Tetapi dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan diri. Semua itu tergantung prespektif siswa. Di sini guru berperan penting untuk memotivasi dan memberikan teladan yang baik kepada siswanya, agar kelas yang dikelolanya bisa menjadi kelas belajar yang menyenangkan.
Opini Duta Masyarakat

 *Tulisan ini dimuat di Duta Masyarakat pada Sabtu, 08 Desember 2014

0 comments:

Post a Comment