Taman Siswa |
Oleh :
A’inatul Mardliyah
Ketika mendengar kata sekolah,
maka apa yang terlintas dipikiran adalah tempat untuk belajar. Di dalamnya
terjadi sebuah proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan para siswanya.
Guru mengajar dengan berbagai pendekatan dan metode yang telah dirancang
sebelumnya. Sedangkan siswa memiliki tanggung jawab untuk patuh terhadap
perintah guru dan menyelesaikan tugas-tugas serta kewajibannya dengan baik.
Kemampuan guru dalam mengelola kelas berbanding lurus dengan hasil belajar yang
dicapai oleh siswa. Karena kunci dari kegiatan pembelajaran itu terletak pada guru.
Lain halnya dengan sebuah taman,
ketika mendengar kata taman, maka yang terlintas dipikiran adalah tempat yang
indah nan sejuk dipenuhi dengan warna-warni bunga. Beberapa orang menghabiskan
waktu di taman untuk bermain dan bersenda gurau. Taman adalah salah satu
alternatif tempat yang digunakan untuk menghilangkan kepenatan. Maka disetiap
akhir pekan, taman akan menjadi tempat yang ramai dikunjungi orang. Prespektif
orang masih sama, di taman lah tempat yang pas untuk menghibur diri. Maka dari
itu, bukan hanya orang dewasa saja yang menyukai taman karena ingin me-refresh
otak, tetapi juga anak-anak yang ingin menghabiskan waktu bersama keluarga dan
teman-temannya sambil bermain di tempat indah yang disebut taman itu.
Lalu apa hubungannya sekolah
dengan taman? Di Indonesia, seorang tokoh pendidikan yang dikenal dengan nama
Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah sekolah dengan nama Taman Siswa. Taman
diartikan sebagai sebuah tempat bermain atau tempat belajar, sedangkan siswa
adalah para murid yang belajar. Sekolah dengan nama Taman Siswa ini didirikan
untuk warga pribumi pada masa penjajahan agar mereka bisa mengenyam pendidikan
seperti halnya para priyayi dan orang-orang Belanda. Dengan prinsip dasar yang
disebut sebagai Patrap Triloka. Dalam Patrap Triloka mengandung tiga unsur,
dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi
teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun kemauan/inisiatif), dan
Tut wuri handayani (dari belakang mendukung). Dengan prinsip dasar tersebut, Ki
Hajar Dewantara ‘memoles’ wajah Indonesia dengan pendidikan.
Dengan pondasi dasar yang
dirintis oleh Ki Hajar Dewantara tersebut, seharusnya Indonesia menjadi negara
percontohan pendidikan dunia. Sekolah dengan nama Taman Siswa itu menggambarkan
bahwa sejatinya sekolah adalah tempat seorang anak mengekspresikan diri dengan
segala potensi yang dimilikinya. Belajar dengan cara menyenangkan seperti
halnya yang dirasakan saat bermain. Sekolah tidak hanya terpaku dengan
tugas-tugas yang membuat siswa semakin terbelenggu kreativitasnya. Tetapi mengajak
siswa untuk membangun kreativitas. Guru tidak membatasi dan mengkotak-kotakkan
kemampuan siswa tetapi memberikan ruang bagi siswa untuk berkarya. Hal itulah
yang diterapkan Finlandia dalam pendidikannya, oleh karena itu Finlandia
disebut sebagai negara dengan pendidikan terbaik dunia.
Buku ‘Sekolah Taman Siswa’ yang
ditulis oleh Ki Hajar Dewantara dijadikan sebagai buku referensi di Finlandia.
Tetapi di Indonesia buku tersebut malah tidak dibaca. Hal tersebut disampaikan
oleh Bapak Mendikbud, Anies Baswedan dalam pertemuan dengan Kepala Dinas
Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota seluruh Indonesia di Jakarta (Kompas.com,
2/12).
Ki Hajar Dewantara telah
menyumbangkan banyak hal untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah
prinsip dasar yang dipegang teguh oleh para guru di Taman Siswa, yakni Patrap
Triloka. Prinsip tersebut bukan hanya bisa diterapkan di internal sekolah,
tetapi juga untuk semua pihak. Karena sejatinya pendidikan adalah tanggung
jawab bersama. Di manapun posisinya, sebagai pihak pemerintah, masyarakat,
guru, dan sebagainya, masing-masing memiliki tanggung jawab yang sama untuk
memajukan pendidikan Indonesia. Di depan memberikan contoh atau tauladan yang
baik, di tengah memberikan inisiatif, dan di belakang memberikan dorongan.
Dengan pondasi kuat tersebut,
sangat disayangkan bila Indonesia saat ini menjadi negara darurat pendidikan.
Ada beberapa fakta yang diungkap oleh Pak Anies Baswedan, di antaranya sebanyak
75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal
pendidikan, nilai rata-rata kompetisi guru di Indonesia hanya 44,5 yang
seharusnya nilai standar kompetensi guru adalah 75, dalam pemetaan dibidang
perguruan tinggi Indonesia berada di tingkat 49 dari 50 negara yang diteliti, pendidikan
Indonesia masuk dalam peringkat 64 dari 65 negara yang dikeluarkan oleh lembaga
Programme for International Study Assessment (PISA), dan sebagainya
(Kompas.com, 2/12).
Ketika fakta-fakta tersebut
terungkap, hendaknya antara pemerintah dengan masyarakat tidak saling
menyalahkan. Tapi bekerja sama untuk mengambil langkah tegas untuk mengatasinya.
Kurikulum 2013 yang sejak diterapkan telah menuai protes dari beberapa pihak,
sudah seharusnya dievaluasi. Pemerintah telah berupaya untuk menanganinya dengan
membentuk tim evaluasi kurikulum 2013. Ini menandakan bahwa pemerintah tidak
tinggal diam terhadap masalah yang ada. Pemerintah telah berupaya untuk
menciptakan iklim positif untuk memajukan pendidikan. Subtansi kurikulum 2013
sejatinya telah sangat bagus, tetapi untuk penerapannya saja yang kurang
efektif. Maka dari itu banyak pihak yang memprotes.
Di tengah suasana darurat
pendidikan seperti saat ini, prinsip Patrap Triloka hendaknya dipegang teguh.
Sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Bersama membangun Indonesia dengan memajukan pendidikan.
Jika kurikulum 2013 dalam pengimplementasiannya membuat siswa jenuh oleh
setumpuk tugas, maka sudah seharusnya kita evaluasi bersama. Bagaimana caranya
agar tugas-tugas itu tidak dianggap sebagai beban yang membatasi kreativitas
berpikir siswa. Tetapi dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan diri. Semua
itu tergantung prespektif siswa. Di sini guru berperan penting untuk memotivasi
dan memberikan teladan yang baik kepada siswanya, agar kelas yang dikelolanya
bisa menjadi kelas belajar yang menyenangkan.
*Tulisan ini dimuat di Duta Masyarakat pada Sabtu, 08 Desember 2014
0 comments:
Post a Comment