Oleh : A'inatul Mardliyah
Selama ini pendidikan adalah hal yang digadang-gadang
sebagai solusi untuk memajukan suatu negara. Sebuah negara akan maju jika
SDM-nya berkualitas. Berbagai upaya
dilakukan untuk memajukan pendidikan. Jika merujuk pada UUD’45 pasal 31 ayat 1
yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Berarti dalam hal ini tidak terkecuali bagi kaum difabel, yakni mereka yang
menderita tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, butawarna keseluruhan
maupun sebagian.
Pada kenyataannya persyaratan-persyaratan yang
diajukan oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia memberikan persyaratan
agar peserta seleksi SNMPTN bukanlah
seorang difabel. Tentu saja hal ini akan mendapatkan banyak kecaman dari
berbagai pihak, terutama kelompok maupun organisasi yang membela kaum difabel
yang menolak persyaratan yang diberikan oleh PTN di Indonesia. Diantaranya
adalah sebuah tindakan pengajuan somasi yang dilakukan oleh 35 organisasi yang
tergabung dalam Aliansi Masyarakat Difabel kepada Mendikbud, Muhammad Nuh.
Persyaratan yang tidak memperbolehkan difabel
mengikuti SNMPTN 2014 memunculkan kritik bahwa hal tersebut merupakan sebuah
bentuk diskriminasi. Hal itu juga dinyatakan sebagai sebuah tindakan
pelanggaran atas hak asasi manusia. Jika kita melihat pasal 1 ayat 31 UUD’45,
seharusnya pendidikan juga merupakan hak bagi difabel. Namun adanya persyaratan
untuk tidak memperbolehkan difabel mengikuti SNMPTN pun masih tetap ada. PTN memiliki
alasan tersendiri untuk tidak memperbolehkan kaum difabel mengikuti SNMPTN.
Keterbatasan memang terkadang menghalangi seseorang untuk menjalani
aktivitasnya dengan baik termasuk belajar, dalam hal ini masuk ke jenjang
perkuliahan. beberapa hal dipandang tidak bisa dilakukan oleh difabel. Jadi ada
sekitar 70 persen jurusan yang menutup kesempatan belajar bagi kaum difabel.
Jika hal ini masih terus berlanjut, maka kaum difabel
akan semakin kehilangan kesempatan mereka untuk membuktikan dirinya. Tapi
disisi lain kita juga tidak bisa menyalahkan PTN, karena memang mereka memiliki
kekhawatiran tersendiri apabila menerima kaum difabel ke jurusan-jurusan
tertentu.
Upaya yang mungkin bisa dilakukan oleh Kemendikbud
adalah dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan dirinya.
Mengingat bahwa negara ini telah memberikan kepada warganya untuk mendapatkan
pendidikan. Kekhawatiran-kekhawatiran akan adanya masalah yang timbul akibat
penghapusan persyaratan ini nantinya akan bisa terjawab jika kita telah
berusaha mempraktikkannya. Berikan dulu mereka kesempatan untuk belajar dan
membuktikan dirinya. Menunjukkan kemampuannya lewat prestasi-prestasinya.
Saat ini kaum difabel di dunia telah membuktikan
dirinya. Pelukis tanpa tangan, pelari dengan satu kaki, perenang tanpa kaki,
dan sebagainya. Masalah akademik, seorang bernama Ahmad Tosirin Anaessaburi
seorang penyandang tunanetra yang menjadi mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga telah
membuktikan prestasinya dengan meraih IPK 3,89. Hal ini membuktikan bahwa masih
banyak lagi penyandang difabel yang mempunyai keinginan kuat untuk belajar dan
melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang perkuliahan. Manusia diciptakan dengan keunikannya masing-masing. Keterbatasan bisa menjadi pemantik semangat untuk memaksimalkan potensi lain yang dimiliki. Jangan mematahkan harapan mereka, harapan generasi emas Indonesia.
0 comments:
Post a Comment