Diam. Dengan mata nanap, menatap sebuah lampu di ujung jalan. Tak
ada yang berlalu-lalang di jalan itu. Seolah tiada kehidupan. Seorang gadis
remaja 18 tahun, dengan postur tubuh yang tinggi dan langsing sedang duduk, risau,
memikirkan nasibnya di masa mendatang. Sebuah nasib yang menurutnya gelap,
tiada harapan. Dan mungkin berakhir begitu saja tanpa suatu yang berarti. “Masa
depan seperti apa yang akan menjemputku?” tanyanya dalam hati. ”Lantas apa guna
nyawaku? Aku yakin Tuhan tidak memberikannya secara cuma-cuma. Pasti Dia
menuntut tugas berat untuk setiap jiwa yang menerimanya.” Pikiran-pikiran itu
terus memberondongnya. Namun selalu berakhir dengan jawaban kosong. Menimbulkan
tanda tanya lebih besar. “Entahlah, toh aku tidak meminta Dia untuk
memberikan nyawa ini, aku bisa menyangkal jika Dia menuntutku.”
“SEKAAAAR! Apa yang kau lamunkan, heh?”
Arggghhh...
“Kau mau jadi seperti Ibumu? Hidup miskin, setres, dipenjara, lalu
mati mengenaskan? Itukah yang kau mau? JAWAB!”
“Ndak pak, Sekar ndak mau hidup seperti itu,,, arrgggh”
“Makanya kerja, jangan kau hanya duduk dan melamun. Lihat! Semut pun
enggan mampir ke warung ini”
“Hari ini memang sepi pak, mungkin para lelaki itu sedang ada acara
di tempat lain.”
“Bodoh! Itu karena kau hari ini tidak berdandan, pakaianmu terlalu tertutup. Kau kira mereka datang
kesini cuma untuk membeli secangkir kopi pahit buatanmu itu? Dandan dan ganti
baju sana!”
Pasrah. Bapaknya memang benar. Para lelaki itu ke warung hanya
untuk menikmati tubuhnya. Memandangi setiap lekukan indah tubuhnya, yang memang
menarik, seperti dibentuk oleh tangan lembut Sang Dewi. Dan berebutan
menjamahnya.
Pekerjaan sebagai penjaga warung kopi sudah 2 tahun Sekar jalani. Melayani
para lelaki dengan senyuman di bibir merahnya. Berjalan melenggok, mengaduk
kopi dengan gairah, dan dengan lembutnya bertanya, “Mau minum apa, mas?”
Sebenarnya bukan pekerjaan seperti ini yang Sekar inginkan. Menjadi
pendidik adalah impiannya. Tapi kini, keinginan itu hanya tinggal mimpi. Tidak
akan ada orang yang rela anaknya dididik oleh orang sepertinya, gadis penjaga
warung, yang SD saja tidak lulus. Mimpi.
Sebenarnya, Kartinah, Ibu Sekar adalah seorang ustadzah. Kartinah
sudah meninggal 3 tahun yang lalu, menurut tetangga Sekar, Ibunya mati bunuh
diri. Tapi Sekar yakin, Ibunya bukan orang yang mudah menyerah pada takdir.
Dulu ketika Sekar masih berusia 3 tahun, Bapak Sekar sempat menjadi
TKI di Malaysia. Kartinah, merawat Sekar seorang diri, bekerja sebagai seorang buruh
cuci atau tukang pijat. Itupun kalau ada yang membutuhkan jasanya. Kartinah
terlunta-lunta sendirian tanpa seorang suami. Tanpa nafkah seperti yang
dijanjikan suaminya akan dikirim tiap bulan sekali. Memang itu terjadi beberapa
bulan pertama setelah suaminya berangkat. Setelah itu, jangankan sepeser uang,
secarik kertas berisi kabar saja tiada diterima Kartinah. Ironi memang. Kewajiban
menafkahi istri dan anaknya telah diabaikan begitu saja, apalagi selama kurang
lebih 6 tahun tidak memberikan kejelasan status bagi Kartinah. Janda bukan
bersuami juga tidak.
Kartinah sempat menyekolahkan Sekar setelah ia dipercaya menjadi
seorang guru ngaji oleh Bu Saroh. Bu Saroh menyuruh Kartinah untuk mengajari
anak semata wayangnya mengaji. Kemampuan Kartinah mengaji memang tidak bisa
diremehkan. Bagaimanapun juga Kartinah sempat mondok selama 4 tahun.
Sejak saat itu, kehidupan Kartinah dan Sekar mulai membaik. Bu
Saroh dan suaminya begitu bersimpati terhadap kehidupan keluarga Kartinah.
Bahkan, Kartinah dan Sekar sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.
Biaya sekolah Sekar pun di tanggung oleh mereka.
Tapi, badai kehidupan itu kembali menghampiri. Kehidupan ibarat
fenomena alam bagi Kartinah. Begitupun dengan masalah yang akan dia hadapi saat
ini. Berawal dari tiupan angin ribut yang menumbangkan pepohonan, disusul
dengan guntur yang menggelegar dengan kilat yang terus menyala-nyala seperti
ingin menyambar siapa saja yang menentangnya. Di tambah lagi dengan badai,
banjir air bah yang meluluh-lantakkan deretan materi yang telah dikumpulkan
manusia dengan keringat dan air mata.
Senja kembali menyapa, Kartinah bergegas menuju rumah Bu Saroh
untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ustadzah. Didapatinya rumah Bu Saroh
sepi tak berpenghuni. Yang ada dalam benak Kartinah saat itu bahwa Bu Saroh
pasti sedang pergi bersama suami dan anaknya. Kartinah memutuskan untuk pulang,
diambang pintu didapatinya suami Bu Saroh tengah berdiri di tengah pintu.
“Kamu mau kemana, Nah?
“Saya kira ndak ada orang
pak, jadi saya mau pulang.”
“Tunggulah sebentar di kamar anakku, sebentar lagi mereka berdua
kembali.”
“Tidak pak, saya tunggu di luar saja.”
“Tak enak sama tetangga, sudahlah tidak apa-apa.”
“Iya pak.”
Setelah beberapa jam menunggu, Kartinah mulai menghawatirkan Sekar
yang saat ini sedang sendirian di rumah. Kartinah memutuskan untuk pamit
pulang. Dia menuju ke kamar Bu Saroh. Dan kemudian meminta izin pada suami Bu
Saroh untuk pulang. Namun kejadian yang tak diinginkan terjadi. Suami Bu Saroh
mulai bertindak kurang ajar. Diperlakukannya Kartinah layaknya istrinya
sendiri. Hingga, Tindakan asusila itu berujung pemerkosaan. Suami Bu Saroh
mengancam Kartinah agar tidak menceritakan hal itu pada siapa saja, termasuk Bu
Saroh.
Setelah kejadian itu, Kartinah enggan kembali ke rumah itu,
berbagai macam alasan dia gunakan untuk menutupi alasan dibalik pengunduran
dirinya. Bujuk rayu Bu Saroh pun tidak menjadikan Kartinah berubah pikiran.
Sebulan kemudian, Supri, suami Kartinah pulang dari Malaysia.
Kartinah begitu bahagia, setelah enam tahun tidak melihat sosok suaminya. Tidak
ada sedikitpun rasa benci Kartinah pada suaminya.
Sejak saat itu keluarga Sekar utuh kembali. Namun, 3 tahun kemudian
Kartinah di penjara dengan tuduhan pembunuhan. Kartinah dituduh membunuh suami
Bu Saroh karena pada saat itu mayat suami Bu Saroh ditemukan tergeletak di
sawah bersama dengan sebilah pisau berlumuran darah yang di pegang oleh Kartinah.
Lokasinya di sawah, hanya berjarak beberapa meter dari rumah Kartinah.
Kartinah menerima hukuman penjara selama 2 tahun 5 bulan. Selepas
dari penjara sikap Kartinah berubah, seperti orang linglung. 5 bulan
kemudian Kartinah mati dengan mulut berbusa. Diduga Kartinah mati bunuh diri
karena tidak kuat dengan cemoohan para tetangganya tentang dirinya. Kata polisi
yang menangani kasus tersebut, Kartinah mati setelah meminum racun tikus.
Kehidupan Sekar kembali berubah, Bapaknya memutuskan untuk membuka
warung kopi disebelah rumahnya. Warung itu semakin ramai ketika Bapak Sekar
menyuruh Sekar untuk menjaganya. Maklum saja, Sekar gadis belia yang cantik,
para pemuda desa seakan berlomba untuk mendapatkannya. Apalagi sejak Sekar
menjadi penjaga warung, para pemuda itu tidak pernah absen mengunjungi warung.
Setelah seharian menjaga warung, Kartinah kembali ke rumah. Waktu
masih menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas. Tapi hari ini warung begitu
sepi, Kartinah tidak ingin berlama-lama di warung.
Di rumah, Sekar melihat Bapaknya hendak menenggak racun tikus.
Racun itu memang sengaja dibeli Sekar karena disuruh oleh Bapaknya. Untungnya,
Sekar berhasil menggagalkan niat Bapaknya itu.
“Apa sih yang Bapak pikirkan! Setiap hari Bapak mengumpat Ibu
karena telah mati sia-sia, tapi sekarang Bapak hendak mengulanginya?”
“DIAM! Kau tahu apa soal Ibumu, heh?”
“Bapak yang tahu apa soal Ibu, dulu Bapak meninggalkan kami. Tanpa
nafkah. Tanpa kabar. Dan tiba-tiba kembali begitu saja.”
...
“Ibu yang banting tulang merawatku, menyekolahkanku. Betapa besar
pengorbanannya padaku.”
...
“Dan ingat pak, Ibu masih bersedia menerima Bapak kembali setelah Bapak
menelantarka kami. Apa Bapak tidak malu pada diri sendiri?”
“SEKARR! Asal kamu tahu, Ibumu itu seorang pelacur, menjadi ustdzah
itu hanya kedok saja, kau tahu itu!”
“Maksud Bapak apa?”
“Dia menjadi ustadzah hanya agar bisa berduaan dengan suami Bu
Saroh. Kartinah sendiri yang bilang padaku.”
...
“Dan kau tahu, siapa pembunuh suami Bu Saroh itu, itu aku yang membunuhnya.
Haha.”
...
“Kartinah aku suruh ke sawah itu dengan membawa pisau yang aku
gunakan untuk membunuh suami Saroh itu. Kartinah bodoh sekali, dia percaya
ucapanku bahwa pisau itu bekas menyembelih ayam. Ku bilang bahwa ayamnya masih
di sawah. Haha. Dan kau tahu siapa yang membunuh Kartinah? Itu aku yang
membunuhnya.”
“kenapa Bapak begitu tega melakukannya? Kenapa pak? Apa salah Ibu?”
“Kartinah telah selingkuh, dia pantas mendapatkannya!”
Sekar begitu shock mendengar pengakuan Bapaknya. Sekar
bergegas keluar rumah. Perasaannya bercampur aduk. Sedih, kaget, bingung. Sekar
berlari sambil menangis menuju rumah Pak Lurah. Jaraknya lumayan jauh dari
rumah Sekar. Tapi Sekar tidak peduli, Bapaknya harus dilaporkan ke polisi.
Bagaimanapun juga, dia telah merugikan banyak orang. Termasuk dirinya.
Keesokan harinya, Bapaknya di tangkap dan kemudian di penjara.
Sekar semakin bingung dengan apa yang telah dilakukannya. Tapi disisi lain
Sekar merasa bangga pada dirinya, dia telah melakukan hal benar. Setidaknya dia
telah membersihkan nama Ibunya. Meski caranya dengan mencoreng nama Bapaknya.
Note : Cerpen ini pernah dimuat di Haluan Kepri Tanggal 14 Juli 2013
0 comments:
Post a Comment